Kamis, 13 November 2008
IPAL LAGOON NUSA INDAH
IPAL BTDC yang sering disebut Lagoon BTDC INI DIBANGUN TAHUN 1976 DG KAPASITAS 10.000 M3/hari. Lagoon mulai beroperasi pd tahun 1980. Luas area lagoon adlh 30 Ha, saat ini udah dimanfaatkan utk instalasi dan rmh pompa..
Keren banget lho????klo lum liat,,,,bsok2 liat ya!!!!Meskipun IPAL tp kyak kolam renang...g bau sma sekali, tp bedanya warna airnya rada keijoan.
Sistem pengolahan limbah cair yg diterapkan adalah Waste Stabilization...apa tuh???Klo anak kes. Lingk pasti tau. Kolam stabilisasi.
Limbah segar dt LPS KELUAR LEWAT INLET DI CELL 1 DAN MENGALAMI PROSES OKSIDASI. cELL 1 TRDIRI DR 2 bagian (1a dan 1b) yg dipisahkan oleh fiberglass pd bagian atas yg berfungsi sbg alat perangkap lemak (greastrap) untuk mengurangi lemak dan kotoran terapung masuk ke cell-cell berikutnya. Lemak dan kotoran terapung masuk ke cell-cell berikutnya. Lemak dan kotoran yg tertahan pd perangkap lemak scara rutin akan dibersihkan oleh pekerja di Lagoon.
Setelah melewati cell 1 maka air akan mengalir msuk ke cell 2a, slanjutnya mengalir ke cell 2b (cell terluas). dicell 2broses oksidasi akan berlangsung cukup lama(karena sangt luas). untuk memantau toksitas/kadar racun air, di cell ni telah dilepaskan ikan2 mujair yg dapet dipakai sbg indikator biologis utk mengetahui perubahan kualitas didalamnya.Slanjutnya mengalir ke cell 3 dan airnya udah tak berbau.
fly grill
PEMBUATAN UJI FUNGSI, DAN BENTUK ALAT
- Persiapan
Mempersiapkan alat-alat dan bahan dalam pembuatan fly grill.
- Alat, Bahan dan Cara Pembuatan
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan dalam pembuatan alat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bambu diameter ± 5 cm dan panjang 80 cm sebanyak 10 buah.
2. Tali ban
3. Paku
4. Bor
5. Gergaji
2. Cara Pembuatan Alat
Pembuatan alat fly grill ini adalah
a. Siapkan bambu 10 buah dengan diameter ± 5 cm dan panjang 80 cm.
b. Potong setiap bambu menjadi 2 bagian.
c. Bambu yang sudah di potong dibersihkan.
d. Bagian kanan dan kiri dilubangi ± diameter 0,5 cm untuk lubang tali.
e. Antara bambu atas dan bawahnya diberi jarak 2 cm.
f. Bambu yang sudah dilubangi, bagian pinggirnya dianyam dengan tali ban sehingga tidak terpisah.
g. Kemudian jika sudah selesai, fly grill dilipat.
h. Setelah itu fly grill di beri tali untuk mempermudah dalam membawa.
- Uji Fungsi Alat
1. Fly grill di hamparkan dari lipatanya.
2. Fly grill di pasang di tempat yang telah ditentukan.
3. Dihitung durasi tiap 1 menit ada berapa lalat yang menempel. Kemudian tiap titik diulang 10 kali.
4. Setelah selesai pengukuran kepadatan lalat, fly grill dapat dilipat ( diluntung) kembali.
Rabu, 12 November 2008
lingkungan hidup
Dalam mengendalikan pencemaran air, upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau pada periode tahun 1998-2002 antara lain:
(1) Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan industri melalui SK Gubenur Riau Nomor 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri;
(2) Penetapan Baku Mutu untuk kualitas Sungai, disesuaikan dengan fungsi dan kondisi masing-masing Sungai;
(3) Pengawasan dan pengendalian bahan yang mencemari sungai melalui upaya-upaya Land Application, meminimalisasi limbah dan produksi air bersih;
(4) Meningkatkan pengendalian terhadap limbah cair melalui Perda Provinsi Riau Nomor 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengendalian Pembuangan Limbah Cair.
Untuk mengendalikan terjadinya pencemaran limbah padat, Pemerintah Provinsi Riau sesuai dengan kewenangannya terus menerus melakukan pembinaan dan penilaian kebersihan sebagai bagian dari program Bangun Praja. Selama penilaian Adipura tidak lagi dilaksanakan, kualitas kebersihan dan kesehatan lingkungan di berbagai kota di Provinsi Riau cenderung menurun. Karena itu, sejak tahun 2000, dilaksanakan kembali Lomba Kebersihan Kota terhadap kota-kota dengan klasifikasi kota besar, kota sedang dan kota kecil. Pada tahun 2001, hasil penilaian Lomba Kebersihan Kota menunjukkan terdapat 3 (tiga) kota bersih, 4 (empat) kota agak bersih dan 2 (dua) kota agak kotor. Selanjutnya pada tahun 2002 terjadi peningkatan dengan hasil penilaian : 6 (enam) kota bersih, 2 (dua) kota yang agak bersih dan 1 (satu) kota agak kotor. Lomba Kebersihan Kota akan terus dilaksanakan dalam upaya memotivasi Daerah Kota mewujudkan kota yang bersih dan nyaman bagi penduduknya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kegiatan pengawasan dan pengendalian limbah B3 merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Namun demikian, pemantauan beberapa industri yang potensial menghasilkan limbah B3, secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir, dalam rangka meminimalisir penumpukan limbah B3. Mengenai penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan dilaksanakan oleh Tim Yustisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau.
Mengenai kebakaran hutan, sebaran hot spot dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1998 terdapat 19.227 hot spot, sedangkan pada tahun 2002 terdapat 8.764 hot spot. Artinya secara umum terjadi penurunan jumlah hot spot yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Selanjutnya luas areal kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau juga berfluktuasi. Pada tahun 1998 luas areal kebakaran hutan sebesar 14.885,25 Ha dan pada tahun 2002 menurun menjadi 10.242,05 Ha.
Pemerintah Provinsi Riau terus berupaya melakukan pencegahan kebakaran hutan melalui penyuluhan, penilaian kinerja dan kesiapan perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan dan perkebunan, melakukan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan bagi petugas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta penegakan hukum secara konsisten. Dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dibentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA) Provinsi Riau dengan Keputusan Gubernur Riau, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SATLAKDALKARHUTLA), dengan Keputusan Bupati/Walikota, di tingkat Kecamatan dibentuk Satuan Tugas (SATLAKARHUTLA) sedangkan di tingkat Desa dibentuk Regu Pemadam Kebakaran Hutan dan Lahan (REGDAMKARHUTLA). Penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh Tim Yustisi yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau. Dalam aspek penegakan hukum lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan, Provinsi Riau merupakan propinsi pertama yang telah menangani dan menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan sampai dengan ditetapkannya putusan hukum yang tetap pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap PT. ADEI Plantation. Selain itu, saat ini, sedang dilakukan proses hukum terhadap 5 (lima) perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2002.
Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Suistainable Development) tentunya tidak terlepas dari lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir, pantai dan laut. Salah satu ekosistem yang cukup dominan mempengaruhi wilayah pesisir, pantai dan laut adalah terumbu karang dan mangrove. Upaya pelestarian terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove terus diupayakan oleh Pemerintah Provinsi Riau, dalam rangka meminimalisir degradasi ekosistem tersebut, melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). Keberhasilan program COREMAP ini tercermin dari terselamatkannya terumbu karang dan mangrove. Pada tahun 1998 dari + 52.180 Ha sebaran terumbu karang kondisi kesehatannya berkisar antara 12% hingga 33% (persentase tutupan karang yang hidup), sedangkan pada tahun 2002 dari + 2.670 Ha kawasan yang dikelola, angka tersebut meningkat secara signifikan menjadi sebesar 0,12% - 15% atau menjadi 48% tutupan karang hidup. Hal ini menunjukan telah terjadi peningkatan pemulihan yang signifikan terhadap kesehatan terumbu karang. Selanjutnya, hutan mangrove yang merupakan ekosistem yang tidak terlepas dari terumbu karang, selama periode 1998-2002, juga menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Pada tahun 1998 luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir + Ha dengan tingkat kerusakan + 4.000 Ha per tahun, dan setelah dilaksanakannya program COREMAP dan CoFish di Provinsi Riau dari tahun 2000-2002 laju kerusakan tersebut baru berhasil dikendalikan hingga 0,12 % dari kerusakan yang terjadi setiap tahunnya.