Rabu, 12 November 2008

lingkungan hidup

Melalui metoda AQMS pemantauan terhadap kualitas udara dilakukan atas 5 parameter yaitu PM10, SO2, CO2, O3 dan NO2. Sedangkan untuk wilayah Kepulauan Riau pengukuran kualitas udara dilaksanakan melalui metoda High Volume Air Sampler (HVAS). Khusus untuk pencemaran udara yang bersumber dari kebakaran hutan, pada pertengahan tahun 2002 Pemerintah Provinsi Riau bekerjasama dengan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup telah melaksanakan pemantauan kualitas udara Ambient di beberapa lokasi yang memiliki titik rawan kebakaran hutan yang berpotensi besar untuk mencemari udara. Hasil pemantauan tersebut pada umumnya menunjukkan kondisi kualitas udara Ambient di lokasi pada waktu pengambilan sample masih dalam kategori baik, dan berada di bawah baku mutu nasional kualitas udara Ambient.

Dalam mengendalikan pencemaran air, upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau pada periode tahun 1998-2002 antara lain:

(1) Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan industri melalui SK Gubenur Riau Nomor 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri;
(2) Penetapan Baku Mutu untuk kualitas Sungai, disesuaikan dengan fungsi dan kondisi masing-masing Sungai;
(3) Pengawasan dan pengendalian bahan yang mencemari sungai melalui upaya-upaya Land Application, meminimalisasi limbah dan produksi air bersih;
(4) Meningkatkan pengendalian terhadap limbah cair melalui Perda Provinsi Riau Nomor 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengendalian Pembuangan Limbah Cair.

Untuk mengendalikan terjadinya pencemaran limbah padat, Pemerintah Provinsi Riau sesuai dengan kewenangannya terus menerus melakukan pembinaan dan penilaian kebersihan sebagai bagian dari program Bangun Praja. Selama penilaian Adipura tidak lagi dilaksanakan, kualitas kebersihan dan kesehatan lingkungan di berbagai kota di Provinsi Riau cenderung menurun. Karena itu, sejak tahun 2000, dilaksanakan kembali Lomba Kebersihan Kota terhadap kota-kota dengan klasifikasi kota besar, kota sedang dan kota kecil. Pada tahun 2001, hasil penilaian Lomba Kebersihan Kota menunjukkan terdapat 3 (tiga) kota bersih, 4 (empat) kota agak bersih dan 2 (dua) kota agak kotor. Selanjutnya pada tahun 2002 terjadi peningkatan dengan hasil penilaian : 6 (enam) kota bersih, 2 (dua) kota yang agak bersih dan 1 (satu) kota agak kotor. Lomba Kebersihan Kota akan terus dilaksanakan dalam upaya memotivasi Daerah Kota mewujudkan kota yang bersih dan nyaman bagi penduduknya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kegiatan pengawasan dan pengendalian limbah B3 merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Namun demikian, pemantauan beberapa industri yang potensial menghasilkan limbah B3, secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir, dalam rangka meminimalisir penumpukan limbah B3. Mengenai penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan dilaksanakan oleh Tim Yustisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau.

Mengenai kebakaran hutan, sebaran hot spot dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1998 terdapat 19.227 hot spot, sedangkan pada tahun 2002 terdapat 8.764 hot spot. Artinya secara umum terjadi penurunan jumlah hot spot yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Selanjutnya luas areal kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau juga berfluktuasi. Pada tahun 1998 luas areal kebakaran hutan sebesar 14.885,25 Ha dan pada tahun 2002 menurun menjadi 10.242,05 Ha.

Pemerintah Provinsi Riau terus berupaya melakukan pencegahan kebakaran hutan melalui penyuluhan, penilaian kinerja dan kesiapan perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan dan perkebunan, melakukan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan bagi petugas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta penegakan hukum secara konsisten. Dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dibentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA) Provinsi Riau dengan Keputusan Gubernur Riau, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SATLAKDALKARHUTLA), dengan Keputusan Bupati/Walikota, di tingkat Kecamatan dibentuk Satuan Tugas (SATLAKARHUTLA) sedangkan di tingkat Desa dibentuk Regu Pemadam Kebakaran Hutan dan Lahan (REGDAMKARHUTLA). Penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh Tim Yustisi yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau. Dalam aspek penegakan hukum lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan, Provinsi Riau merupakan propinsi pertama yang telah menangani dan menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan sampai dengan ditetapkannya putusan hukum yang tetap pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap PT. ADEI Plantation. Selain itu, saat ini, sedang dilakukan proses hukum terhadap 5 (lima) perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2002.

Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Suistainable Development) tentunya tidak terlepas dari lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir, pantai dan laut. Salah satu ekosistem yang cukup dominan mempengaruhi wilayah pesisir, pantai dan laut adalah terumbu karang dan mangrove. Upaya pelestarian terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove terus diupayakan oleh Pemerintah Provinsi Riau, dalam rangka meminimalisir degradasi ekosistem tersebut, melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). Keberhasilan program COREMAP ini tercermin dari terselamatkannya terumbu karang dan mangrove. Pada tahun 1998 dari + 52.180 Ha sebaran terumbu karang kondisi kesehatannya berkisar antara 12% hingga 33% (persentase tutupan karang yang hidup), sedangkan pada tahun 2002 dari + 2.670 Ha kawasan yang dikelola, angka tersebut meningkat secara signifikan menjadi sebesar 0,12% - 15% atau menjadi 48% tutupan karang hidup. Hal ini menunjukan telah terjadi peningkatan pemulihan yang signifikan terhadap kesehatan terumbu karang. Selanjutnya, hutan mangrove yang merupakan ekosistem yang tidak terlepas dari terumbu karang, selama periode 1998-2002, juga menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Pada tahun 1998 luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir + Ha dengan tingkat kerusakan + 4.000 Ha per tahun, dan setelah dilaksanakannya program COREMAP dan CoFish di Provinsi Riau dari tahun 2000-2002 laju kerusakan tersebut baru berhasil dikendalikan hingga 0,12 % dari kerusakan yang terjadi setiap tahunnya.

Tidak ada komentar: