Senin, 06 April 2009

Pengolahan air


SISTEM PENGOLAHAN AIR DENGAN MODEL FILTRASI MULTIMEDIA SISTEM BACK WASH

Air yang tidak memenuhi syarat untuk langsung diminum perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat kesehatan. Pekerjaan ini disebut ”treatment of water” yang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi banyak cara melakukannya.

Jika ditinjau dari perlu atau tidaknya dilakukan pengolahan terhadap air dapat dibedakan beberapa macam air, yakni :
Air yang sama sekali tidak membutuhkan pengelolaan; jadi air tersebut dapat langsung diminum, biasanya berupa air tanah yang tidak terkontaminasi.
Air yang hanya membutuhkan pekerjaan desinfeksi saja; umumnya berupa air dalam tanah ataupun air permukaan yang diperkirakan hampir tidak terkontaminasi, mempunyai warna yang jernih dan mengandung E koli pada pemeriksanbulanan tidak lebih dari 50 untuk tiap100 ml air.
Air yang membutuhkan penyaringan pasir cepat yang lengkap atau alat pengolahan air lainnya yang sejenis dengan ini, yang dilanjutkan dengan clorination secara tetap, biasanya dilakukan pada air yang telah tercemar atau yang mengandung E coli lebih dari 5000 pada setiap 100 ml air yang berasal dari 20 % sampel yang diperiksa setiap bulan.Air yang membutuhkan pengolahan tambahan setelah sebelumnya dilakukan proses pengolahan dengan saringan pasir cepat dan clorination. Pengolahan tambahan yang dilakukan misalnya pre-sedimentation ataupun penyimpannya selama 30 hari atau lebih yang sebelumnya telah ditambahkan pula zat chlor. Biasannya dilakukan pada air yang mengandung E coli pada 20 % sampel air yang diperiksa setiap 2 bulan sekali lebih dari 5000 MPN pada setiap 100 ml, tapi jumlah ini tidak lebih dari 20.000 pada setiap 100 ml air pada 5 % dari sampel yang diperiksa.
Air yang membutuhkan pengolahan secara istimewa yang biasanya dilakukan pada air yang sama sekali tidak sehat, tetapi karena keadaan yang memaksa terpaksa dipergunakan (dalam keadaan bencana). Air macam ini ditandai dengan ditemukannya E coli sebanyak lebih dari 250.000 MPN pada setiap 100 ml air tiap kali pemeriksaan.

Bahan dan Alat
1. Bahan
Pipa PVC 3 inch:60 cm, ½ inch : 50 cm
Dop pipa 3 inch: 2 buah,
Lem pipa
Isolasi pipa
Adsorben berupa arang aktif, batu zeolit, dan ijuk kelapa
Batu
Shock L; 3 buah
Pasir
Stop Kran ; 2 buah
Shock T;3 buah
Drat dalam dan luar 4 buah
Sekat atau kasa nyamuk
2. Alat
gergaji pipa
bor pipa
ember
kikir
mistar ukur
lem pipa


Chlorine diffuser

Chlorine diffuser

Chlorine diffuser sebagai metode desinfeksi air bersih

Desinfeksi adalah proses pengolahan air dengan tujuan membunuh kuman atau bakteri pathogen yang ada dalam air. Bahan bahan desinfektan antara lain chlor, iodiom, ozon atau sinar ultraviolet. Metode cholrin difuser telah digunakan petugas Puskesmas dalam mncegah maupun menanggulangi pencemar bakteri dengan indikator E. Coli baik Coli Tinja atau Coliform. Alat cholin difuser menggunakan bahan pipa pvc ½ - ¾ inch. Dengan ukuran bahan pengisi klorin/kaporit Ca(OCl)2 dengan pasir pengisi antara 1 : 4 sampai 1 : 8. ukuran 1 : 4 digunakan untuk mengurangi cemaran akibat bakteri Coli dengan jumlah cukup tinggi. Dan ukuran 1 : 6 sampai 1 : 8 digunakan untuk menjaga cemaran bakteri atau proses pemulihan air dari cemaran bakteri Coli.
Bahan untuk Chlorinasi menggunakan:
1. Kaporit Ca(OCl)2 (calcium hipochlorit)
Sifat : a. mengandung 60 – 70 % Ca(OCl)2
b. mudah larut dalam air.
c. berisfat korosif yaitu melakukan reduksi oksigen kepada bahan yang mudah teroksidasi seperti besi, seng dll.
d. bahaya bagi kulit dan mata.
2. Chlorin Cl2
Sifat : a. Keadaan cair jernih dan mudah menguap.
b. keadaan gas kuning kehijauan
menurut reaksinya:
CL2 + H2O ClOH + H+ + Cl-
Ca(OCL)2 + 2H2O Ca(OH)2 + 2HOCl
Pada pH tinggi diionisasi di HOD
HOCl H+ + OCl-
Cholrin ini bersifat oksidator sehingga jika dalam proses desinfeksi masih terdapat koloidal yang belum tersaring maka secara reaksi reduksi dan oksidasi chlorin akan memberi sebagian oksigennya kepada koloidal tersebut sehingga dalam bentuk OH akan membasakan air menjadi lebih besar dan kaitanya dalm proses penetralannya sulit dan juga menimbulkan bau.. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kemampuan desinfektan yaitu :
a. Keadaan microorganisme dilihat dari jenis, jumlah, umur, penyebaran
b. Desinfektan dilihat dari jenis dan konsentrasi desinfektan.
c. Waktu kontak
d. Faktor lingkungan meliputi suhu, ph, kualitas air, pengolahan air.
Alat dan bahan
1. Alat :
Gergaji pipa
Bor pipa
Penggaris
Ember
Ayakan pasir.
Paku reng bambu
2. Bahan :
Lem pipa
Pasir kasar
Kaporit bubuk
Air
Pipa pvc ½ 30 cm dan ¾ inch

Pencetak briket

PENCETAK BRIKET

A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Pencil dan kertas
b. Penggaris atau meteran
c. Las
d. Palu
e. Tang
f. Gerinda
g. Gergaji besi
h. Bor besi
2. Bahan
a.plat eser ukuran 17cmx17cmx1cm g. Per
b. Pipa besi diameter 6cmx47cm h. As penekan
c. Pengungkit besi
d. Lingkaran besi
e. Pipa besi kecil atau pipa pvc sebagai cetakan briket
f. Lacher

1. Mekanisme Kerja Alat
a. Meletakkan adonan briket ke dalam cetakan.
b. Memadatkan adonan briket dengan cara mengangkat pengungkit dari atas ke bawah.
c. Setelah briket padat turunkan pengungkit atau tarik pengungkit ke bawah
d. Memutar lingkaran besi, kemudian geser briket yang sudah dipadatkan dalam cetakan ke lubang (briket akan jatuh dengan sendirinya).
e. Setelah lingkaran besi diputar, pemadat briket akan mencetak briket selanjutnya, begitu seterusnya sampai pada cetakan briket yang terakhir sesuai dengan banyaknya briket yang dikehendaki.
f. Briket dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 2 hari (tergantung cuaca).
g. Briket siap digunakan.

A. Spesifikasi alat
Pencetak briket dengan sistim putar ini dikhususkan untuk mencetak briket dengan otomatis bisa jatuh sendiri tanpa diambil dan secara otomatis bisa langsung mencetak briket berikuntya dengan cara memutar piringan.
B. Uji fungsi
1. Adonan briket yang sudah siap dicetak dimasukkan ke dalam besi pemadat briket dan kemudian dipadatkan.
2. Setelah padat, briket tersebut akan jatuh sendiri secara otomatis dengan cara memutar piringan pada bagian bawahnya.
3. Secara otomatis pemadat briket akan mencetak briket yang selanjutnya setelah piringan diputar.
4. Jika briket dapat jatuh dengan sendirinya dan dapat mencetak briket yang selanjutnya secara otomatis setelah memutar piringan bagian bawah, maka alat tersebut dikatakan berhasil.









Alat Penurun kelembaban


DESAIN
ALAT PENURUN KELEMBABAN

HARGA

Kelembaban dapat diturunkan salah satunya dengan menggunakan media arang aktif dan silica gel.
Desain sebuah tempat silica gel dan arang aktif yang dapat ditempatkan pada rumah-rumah penduduk tetapi tidak memakan banyak tempat / efisien untuk dapat menurunkan kelembaban, mengingat rumah-rumah penduduk masih banyak yang berukuran kecil terutama di daerah perkotaan.


ALAT dan BAHAN

Alat
a. Alat las
b. Alat patri
c. Gunting seng
d. Jangka
e. Penggaris
f. Palu
Bahan
a. Stainless
b. Kassa strimin
c Kawat ram
d. Besi
e. Silica gel
f. Arang aktif
g. Paku






CARA KERJA ALAT

1. Alat tersebut diisi dengan silica gell dan arang aktif.
2. Menggantungkan tabung 1 yang telah berisi tabung 2 dan 3 pada langit-langit di tengah ruang tidur atau ruang keluarga.
3. Sebelum dan sesudah pemasangan alat, dilakukan pengukuran kelembaban dengan menggunakan thermohigrometer. Perlakuan tersebut dilakukan selama 12 jam dan setiap 3 jam dicatat hasil kelembaban pada ruangan tersebut.

Kamis, 13 November 2008

IPAL LAGOON NUSA INDAH

sISTEM PENGOLAHAN
IPAL BTDC yang sering disebut Lagoon BTDC INI DIBANGUN TAHUN 1976 DG KAPASITAS 10.000 M3/hari. Lagoon mulai beroperasi pd tahun 1980. Luas area lagoon adlh 30 Ha, saat ini udah dimanfaatkan utk instalasi dan rmh pompa..
Keren banget lho????klo lum liat,,,,bsok2 liat ya!!!!Meskipun IPAL tp kyak kolam renang...g bau sma sekali, tp bedanya warna airnya rada keijoan.
Sistem pengolahan limbah cair yg diterapkan adalah Waste Stabilization...apa tuh???Klo anak kes. Lingk pasti tau. Kolam stabilisasi.
Limbah segar dt LPS KELUAR LEWAT INLET DI CELL 1 DAN MENGALAMI PROSES OKSIDASI. cELL 1 TRDIRI DR 2 bagian (1a dan 1b) yg dipisahkan oleh fiberglass pd bagian atas yg berfungsi sbg alat perangkap lemak (greastrap) untuk mengurangi lemak dan kotoran terapung masuk ke cell-cell berikutnya. Lemak dan kotoran terapung masuk ke cell-cell berikutnya. Lemak dan kotoran yg tertahan pd perangkap lemak scara rutin akan dibersihkan oleh pekerja di Lagoon.
Setelah melewati cell 1 maka air akan mengalir msuk ke cell 2a, slanjutnya mengalir ke cell 2b (cell terluas). dicell 2broses oksidasi akan berlangsung cukup lama(karena sangt luas). untuk memantau toksitas/kadar racun air, di cell ni telah dilepaskan ikan2 mujair yg dapet dipakai sbg indikator biologis utk mengetahui perubahan kualitas didalamnya.Slanjutnya mengalir ke cell 3 dan airnya udah tak berbau.

fly grill


PEMBUATAN UJI FUNGSI, DAN BENTUK ALAT

  1. Persiapan

Mempersiapkan alat-alat dan bahan dalam pembuatan fly grill.

  1. Alat, Bahan dan Cara Pembuatan

1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan dalam pembuatan alat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bambu diameter ± 5 cm dan panjang 80 cm sebanyak 10 buah.

2. Tali ban

3. Paku

4. Bor

5. Gergaji

2. Cara Pembuatan Alat

Pembuatan alat fly grill ini adalah

a. Siapkan bambu 10 buah dengan diameter ± 5 cm dan panjang 80 cm.

b. Potong setiap bambu menjadi 2 bagian.

c. Bambu yang sudah di potong dibersihkan.

d. Bagian kanan dan kiri dilubangi ± diameter 0,5 cm untuk lubang tali.

e. Antara bambu atas dan bawahnya diberi jarak 2 cm.

f. Bambu yang sudah dilubangi, bagian pinggirnya dianyam dengan tali ban sehingga tidak terpisah.

g. Kemudian jika sudah selesai, fly grill dilipat.

h. Setelah itu fly grill di beri tali untuk mempermudah dalam membawa.

  1. Uji Fungsi Alat

1. Fly grill di hamparkan dari lipatanya.

2. Fly grill di pasang di tempat yang telah ditentukan.

3. Dihitung durasi tiap 1 menit ada berapa lalat yang menempel. Kemudian tiap titik diulang 10 kali.

4. Setelah selesai pengukuran kepadatan lalat, fly grill dapat dilipat ( diluntung) kembali.

Rabu, 12 November 2008

lingkungan hidup

Melalui metoda AQMS pemantauan terhadap kualitas udara dilakukan atas 5 parameter yaitu PM10, SO2, CO2, O3 dan NO2. Sedangkan untuk wilayah Kepulauan Riau pengukuran kualitas udara dilaksanakan melalui metoda High Volume Air Sampler (HVAS). Khusus untuk pencemaran udara yang bersumber dari kebakaran hutan, pada pertengahan tahun 2002 Pemerintah Provinsi Riau bekerjasama dengan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup telah melaksanakan pemantauan kualitas udara Ambient di beberapa lokasi yang memiliki titik rawan kebakaran hutan yang berpotensi besar untuk mencemari udara. Hasil pemantauan tersebut pada umumnya menunjukkan kondisi kualitas udara Ambient di lokasi pada waktu pengambilan sample masih dalam kategori baik, dan berada di bawah baku mutu nasional kualitas udara Ambient.

Dalam mengendalikan pencemaran air, upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau pada periode tahun 1998-2002 antara lain:

(1) Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan industri melalui SK Gubenur Riau Nomor 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri;
(2) Penetapan Baku Mutu untuk kualitas Sungai, disesuaikan dengan fungsi dan kondisi masing-masing Sungai;
(3) Pengawasan dan pengendalian bahan yang mencemari sungai melalui upaya-upaya Land Application, meminimalisasi limbah dan produksi air bersih;
(4) Meningkatkan pengendalian terhadap limbah cair melalui Perda Provinsi Riau Nomor 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengendalian Pembuangan Limbah Cair.

Untuk mengendalikan terjadinya pencemaran limbah padat, Pemerintah Provinsi Riau sesuai dengan kewenangannya terus menerus melakukan pembinaan dan penilaian kebersihan sebagai bagian dari program Bangun Praja. Selama penilaian Adipura tidak lagi dilaksanakan, kualitas kebersihan dan kesehatan lingkungan di berbagai kota di Provinsi Riau cenderung menurun. Karena itu, sejak tahun 2000, dilaksanakan kembali Lomba Kebersihan Kota terhadap kota-kota dengan klasifikasi kota besar, kota sedang dan kota kecil. Pada tahun 2001, hasil penilaian Lomba Kebersihan Kota menunjukkan terdapat 3 (tiga) kota bersih, 4 (empat) kota agak bersih dan 2 (dua) kota agak kotor. Selanjutnya pada tahun 2002 terjadi peningkatan dengan hasil penilaian : 6 (enam) kota bersih, 2 (dua) kota yang agak bersih dan 1 (satu) kota agak kotor. Lomba Kebersihan Kota akan terus dilaksanakan dalam upaya memotivasi Daerah Kota mewujudkan kota yang bersih dan nyaman bagi penduduknya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 dan Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kegiatan pengawasan dan pengendalian limbah B3 merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Namun demikian, pemantauan beberapa industri yang potensial menghasilkan limbah B3, secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir, dalam rangka meminimalisir penumpukan limbah B3. Mengenai penanganan kasus-kasus pencemaran lingkungan dilaksanakan oleh Tim Yustisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau.

Mengenai kebakaran hutan, sebaran hot spot dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1998 terdapat 19.227 hot spot, sedangkan pada tahun 2002 terdapat 8.764 hot spot. Artinya secara umum terjadi penurunan jumlah hot spot yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Selanjutnya luas areal kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau juga berfluktuasi. Pada tahun 1998 luas areal kebakaran hutan sebesar 14.885,25 Ha dan pada tahun 2002 menurun menjadi 10.242,05 Ha.

Pemerintah Provinsi Riau terus berupaya melakukan pencegahan kebakaran hutan melalui penyuluhan, penilaian kinerja dan kesiapan perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan dan perkebunan, melakukan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan bagi petugas di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta penegakan hukum secara konsisten. Dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dibentuk Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA) Provinsi Riau dengan Keputusan Gubernur Riau, di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SATLAKDALKARHUTLA), dengan Keputusan Bupati/Walikota, di tingkat Kecamatan dibentuk Satuan Tugas (SATLAKARHUTLA) sedangkan di tingkat Desa dibentuk Regu Pemadam Kebakaran Hutan dan Lahan (REGDAMKARHUTLA). Penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh Tim Yustisi yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau. Dalam aspek penegakan hukum lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan, Provinsi Riau merupakan propinsi pertama yang telah menangani dan menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan sampai dengan ditetapkannya putusan hukum yang tetap pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap PT. ADEI Plantation. Selain itu, saat ini, sedang dilakukan proses hukum terhadap 5 (lima) perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan pada tahun 2002.

Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Suistainable Development) tentunya tidak terlepas dari lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir, pantai dan laut. Salah satu ekosistem yang cukup dominan mempengaruhi wilayah pesisir, pantai dan laut adalah terumbu karang dan mangrove. Upaya pelestarian terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove terus diupayakan oleh Pemerintah Provinsi Riau, dalam rangka meminimalisir degradasi ekosistem tersebut, melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). Keberhasilan program COREMAP ini tercermin dari terselamatkannya terumbu karang dan mangrove. Pada tahun 1998 dari + 52.180 Ha sebaran terumbu karang kondisi kesehatannya berkisar antara 12% hingga 33% (persentase tutupan karang yang hidup), sedangkan pada tahun 2002 dari + 2.670 Ha kawasan yang dikelola, angka tersebut meningkat secara signifikan menjadi sebesar 0,12% - 15% atau menjadi 48% tutupan karang hidup. Hal ini menunjukan telah terjadi peningkatan pemulihan yang signifikan terhadap kesehatan terumbu karang. Selanjutnya, hutan mangrove yang merupakan ekosistem yang tidak terlepas dari terumbu karang, selama periode 1998-2002, juga menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Pada tahun 1998 luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir + Ha dengan tingkat kerusakan + 4.000 Ha per tahun, dan setelah dilaksanakannya program COREMAP dan CoFish di Provinsi Riau dari tahun 2000-2002 laju kerusakan tersebut baru berhasil dikendalikan hingga 0,12 % dari kerusakan yang terjadi setiap tahunnya.